Monday, June 21, 2021

METAFISIKA

 


Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan filsuf tentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antarkeberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya.


Mengingat jangkauan kajian yang dipusatkannya, metafisika menjadi sebuah disiplin yang fundamental dalam kajian filsafat. Sepanjang sejarah kefilsafatan, metafisika menjangkau problem-problem klasik dalam filsafat teoretis. Umumnya kajian metafisika menjadi "batu pijakan" atas struktur gagasan kefilsafatan dan prinsip-prinsip yang lebih kompleks untuk menjelaskan problem lainnya. Sehingga, dalam pemahaman metafisika klasik, metafisika membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang jawaban-jawaban atasnya dapat digunakan menjadi dasar bagi pertanyaan yang lebih kompleks. Misalnya: adakah maksud utama dalam beradanya dunia ini? Lalu apakah keberadaannya sebatas keberadaan yang "mengada" atau dependen terhadap keberadaan lainnya?; Apakah tuhan/tuhan-tuhan ada? Lalu, jika ada, apa saja hal-hal yang bisa manusia tahu/tidak tahu tentangnya?; Benarkah terdapat hal semacam intellectus, terutama dalam pembahasan mengenai pembedaan antara problem pemisahan entitas jiwa–badan?; Apakah jiwa sesuatu yang nyata, dan apakah ia berkehendak bebas?; Apakah segalanya tetap atau berubah? Apakah terdapat hal atau relasi yang selalu bersifat tetap yang bekerja dalam berbagai fenomena?; dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sejenis.


Objek bahasan metafisika bukan semata-mata hal-hal empiri atau hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengamatan individual, melainkan hal-hal atau aspek-aspek yang menjadi dasar realitas itu sendiri. Klaim-klaim atas metode dan objek kajian metafisika telah menjadi problem perenial kefilsafatan.


Pembahasan mengenai metafisika memiliki berbagai subbahasan. Misalnya pembahasan sentral metafisika adalah ontologi, yaitu proses analitis dan penggalian klasifikasi berdasarkan prinsip-prinsip kategori keberadaan dan relasi di antaranya. Bahasan sentral lainnya adalah kosmologi metafisik, yaitu kajian mendalam atas prinsip keberadaan dunia, realitas, asal mula, dan makna keberadaan atasnya.


Sejarah Konsep

Kata "metafisika" dicatut dari set karya Aristoteles yang terdiri dari 14 kelompok karya tentang problem-problem filosofis. Pada mulanya tidak terdapat nama untuk merujuk kajian kefilsafatan ini, hingga Andronikus dari Rodesia menyusun karya-karya filsafat Aristotelian dengan delapan buku di luar label "Fisika" dinamai τὰ μετὰ τὰ φυσικά βιβλία (tà metà tà Physika biblia; buku/karya (yang adalah) setelah/disamping Φυσικὴ ἀκρόασις (Phusike akroasis)).[butuh rujukan] Sehingga timbul istilah "Metafisika" yang, secara turun temurun berbelok maknanya dan dimengerti sebagai "sesuatu/ilmu di balik fisika/kulit terluar (yang menutupi sesuatu)".


Terdapat berbagai pemahaman atas maksud kata Metafisika sebenarnya dan menjadi problem bagi para filsuf dan sejarawan hingga kini. Sehingga makna sebenarnya masih belum jelas, mengingat Arisoteles pun tidak menggunakan istilah tersebut untuk menamai teori-teori metafisikanya. Kata "Metafisika" tidak pernah—pun jika pernah ada di masa Aristotelian—dipakai oleh Aristoteles sendiri, melainkan sering kali ia rujuk sebagai "filsafat awal".



Akan tetapi, para cendekiawan dan komentator mulai mempertanyakan dan mencari arti intrinsik di balik kepantasan atas kesesuaian nama yang diberikannya. Kegiatan beberapa cendekiawan abad ke-20 turut mengarahkan arti alternatif atas metafisika itu sendiri. Pemahaman-pemahaman abad Renaisans melahirkan ide-ide baru seperti ‘meta-bahasa’ atau ‘penyangga korpus kefilsafatan’ dan membuat metafisika dipahami sebagai "ilmu atas dunia di luar physis (φύσις, biasanya diterjemahkan sebagai 'alam')." Kajian physis yang dimaksud umumnya berkenaan dengan hal-hal yang melampaui hal-hal keduniaan yang, secara umum, dapat dipahami sebagai ilmu atas hal-hal imaterial (seperti alam kajian Newton, Einstein, atau Heisenberg). Lain halnya dengan Thomas Aquinas yang merujuk metafisika sebagai ilmu tinggi dari urutan kronologi atau pedagogi tahap studi filsafat. Sehingga ilmu metafisika dipahami sebagai "hal yang dipelajari setelah menguasai ilmu-ilmu yang berurusan dengan hal-hal fisik." Akan tetapi, dari semua konsepsi yang telah disebutkan, tidak ada suatu definisi yang disepakati di lintas ilmu kefilsafatan. Dalam karya Aristoteles, bagian karya yang disebut pasca-Fisika tersebut menggambarkan hal yang "tidak mengalami perubahan."


Sejak abad pascaklasik dan abad pertengahan, studi metafisika telah disebut sebagai disiplin filsafat yang berdiri sendiri. Pada abad pertengahan, studi metafisika diberi nama ἐποπτεία (epopteía; melihat, mencerap, memahami). Di sisi lain, kata sifat metafisis, terutama pada abad-abad pencerahan dan abad XIX, biasanya digunakan sebagai julukan dan kata populer untuk menamai sesuatu hal sebagai hal yang "berbau spekulasi", "tidak ilmiah", "totalitarian", atau "pemahaman tidak empiris".


Penolakan terhadap metafisika

Dalam perkembangannya, terma dan ide mengenai metafisika terus menerus berubah. Beberapa pemikir memulai diskursus dan tanda-tanda kematian-kematian metafisika dengan penolakan dan pembuktian atas kesia-siaan dan ketidakterjangkauannya. David Hume, misalnya, secara keras menyatakan bahwa pengetahuan sejati (genuine knowledge) dibentuk tak lain selain fakta dan rerangkai matematis. Sehingga, terlepas dari keduanya, pengetahuan tersebut salah dan tidak menyatakan realitas. Di lain hal, Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason menyatakan bahwa, tidak seperti Hume yang menolak mentah-mentah pengetahuan selain hal yang empiris dan terukur, terdapat suatu lokus pengetahuan yang disebut sintetis a priori. Menurut Kant, terdapat suatu pengetahuan sejati yang terdiri atas fakta-fakta pengetahuan yang independen, lepas dari pengalaman empiris seperti pengetahuan atas ruang, waktu, dan kausalitas. Klaim Hume pun ditolak dengan pemahaman Kantian bahwa terdapat sesuatu hal yang lepas dari keterjangkauan manusia yang sepenuhnya independen dan asali, sehingga klaim Hume gagal untuk memahami adanya noumenon, esensi yang "ada dalam dirinya sendiri" (an Sich).


Kemudian, penolakan selanjutnya diutarakan oleh pengusung verifikasionisme seperti A. J. Ayer dan Rudolf Carnap. Menimbang pernyataan Hume, menurut verifikasionisme, pernyataan metafisis bukan bernilai benar atau salah, melainkan tak bermakna. Karena suatu hal akan bermakna jika hal tersebut terdapat bukti empiris yang dapat dijangkau dan korespondensi ide dengan realitas.


Perdebatan mengenai status kajian metafisis sebagai bidang ilmu menunjukkan ketiadaannya kesatuan internal dalam pemahaman definitif maupun kontekstual. Akan tetapi argumen mengenai hakikat keberadaan metafisika sebagai bahan kajian tak lepas dari statusnya sebagai bidang ilmu. Mungkin saja tak ada hal semacam metafisika—sebagai bidang studi. Atau mungkin, seperti kebanyakan filsuf, pernyataan metafisis tak bernilai salah ataupun benar. Atau sebaliknya, teori metafisis memiliki nilai kebenaran, akan tetapi tak dapat terjangkau oleh lemahnya manusia. Hal-hal tersebut adalah pernyataan-pernyataan umum atas keberadaan metafisika.


METAFISIKA

  Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang men...